Peran Penyelenggara Pemilu Menyikapi Dinamika Capres dan Cawapres 2024

Muhammad Arif yang merupakan tokoh muda Sumatera Utara yang saat ini merupakan Direktur Rumah Data Sumatera Utara. Foto: Istimewa/IndoPos86.com.

Oleh Muhammad Arif*


Rabu 26 April 2023 I Pukul 16.30 WIB


Dinamika politik nasional menjelang pemilu 2024 semakin intensif, demikian pula aksi dan reaksi antar kekuatan yang memasuki arena pertarungan bacapres dan bacawapres. melihat keadaan saat ini, berbagai kekuatan mulai dikonsolidasikan. tahun – tahun ini  merupakan salah satu waktu tersibuk bagi partai politik. Hal ini penyelenggara Pemilu harus mewanti-wanti dampak baik dan buruknya terhadap dinamika yang terjadi.

Fenomena Menjelang Pemilu 2024

Melihat perkembangan selain untuk mempersiapkan tahapan pemilihan umum, penyelenggara pemilu yaitu KPU juga memerlukan komunikasi yang terukur terkait politik yang intensif di luar kewenangannya untuk menuntaskan pencalonan calon presiden dan wakil presiden yang akan menjadi calon resmi pemilihan presiden tahun 2024. Pengambilan keputusan akan mempengaruhi kartu daya mereka di masa depan.

Melihat partai politik kini harus bernavigasi diantara ekspektasi publik yang tercermin dari perkembangan opini publik, kepentingan partai lain dan tentu saja kepentingan politik mereka sendiri. Pelan tapi pasti, kebijakan yang dulunya sangat sewenang-wenang mulai membentuk formula yang harus dibaca dengan seksama oleh Penyelenggara Pemilu.

Dalam Critique of Public Opinion klasiknya (1922), sosiolog dan pakar komunikasi Jerman Ferdinand Tönnies membagi proses pembentukan opini publik menjadi tiga fase.
Tahap pertama, posisi udara. Pada titik ini opini masih sangat arbitrer, tidak pasti dan publik mulai membicarakannya. Pada tahapan ini, setiap orang yang ingin menjadi calon presiden atau wakil presiden biasanya menampilkan dirinya dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menebar pesona melalui statusnya melalui media sosial, baliho, singgasana video, berita media atau karya nyata.

Fase yang sedang berkembang ini tentunya akan didominasi oleh mereka yang ingin menjadi capres/cawapres melalui struktur partai, tim relawan, konsultan, lembaga penelitian atau jurnalis media dan netizen sosial.

Tahap kedua, stasiun sibuk. Pada titik ini opini publik membentuk sebuah pola. Pendapat dikonfirmasi mendukung atau menentang. Masyarakat berfokus pada pendukung, lawan atau pihak yang tidak memilih.

Jika melihat tren terkini, berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian telah mengkonfirmasi beberapa nama sebagai karakter dengan peluang terbesar untuk memasuki arena pertempuran. Misalnya, survei R&D Kompas periode 24.9.-7.10.2022 menunjukkan bahwa tingkat selektivitas Ganjar Pranowo meningkat menjadi 23,2 persen. Di urutan kedua ada perolehan suara Prabowo Subianto dengan 17,6 persen. Anies Baswedan berada di urutan ketiga dengan 16,5 persen.

Ketiga nama tersebut kini konsisten menempati urutan teratas, meski dengan persentase dan penempatan yang berbeda di beberapa lembaga penelitian lainnya. Pendapat dapat dibentuk tentang keacakan nama dan diperhitungkan dalam keputusan.

Tahap ketiga disebut posisi tetap, yaitu. tahap opini tegas, dan biasanya menghasilkan opini publik yang mapan atau bertahan lama di masyarakat. Bisa diasumsikan pandangan pencalonan ini akan stabil dari awal hingga pertengahan tahun depan. Ketika paket “kuda pacu” capres dan cawapres resmi terdaftar di KPU, fase opini publik kembali terbentuk. Penonton kemudian menanggapi dengan mendiskusikan setiap pasangan, dan biasanya semakin dekat selama kampanye berlangsung. Probabilitas perolehan suara sudah bisa dihitung, meski tentu saja bukan proses yang linier.

Kejutan selalu muncul terkait dengan apa yang dilakukan masing-masing pihak dan cara penanganan konflik. Pada tingkat tertentu, opini publik menjadi stabil dan kemungkinan kemenangan dapat terancam sebelum hari pemilihan. Opini publik ini dapat memberi sinyal kepada partai politik bagaimana menanggapi keinginan publik yang berkembang. Memang pendapat sebagai respon aktif terhadap suatu stimulus tidak pernah ada dalam ruang hampa. Yang terpengaruh selalu membentuk opini.

Ini adalah proses membangun yang menarik perhatian, yang kemudian dapat diubah menjadi keinginan, minat, persetujuan dan dukungan, tetapi juga beberapa yang ditanggapi oleh publik hanya secara moderat. Sebagai capres atau cawapres, jika memaksakan nama yang bukan magnet pemilu, tentu menjadi masalah besar untuk memenangkan pilkada. Mengapa fase pembentukan opini publik kini menyatu lebih awal dengan fase jabatan? Hal ini tidak terlepas dari gerakan Nasdem, dimana nama Anies sebagai capres diumumkan. Hal ini meningkatkan intensitas komunikasi politik. Misalnya pertemuan Nasdem, PKS dan Partai Demokrat.

Fenomena yang sama dapat kita amati pada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Politisi PPP, PAN, dan Golkar yang samar-samar semakin gamblang menyebut beberapa nama di antaranya Ganjar, Ridwan Kamil, dan Airlangga Hartarto. Tak lupa, Gerindra dan PKB juga semakin gencar menyusun rencana koalisi.

Faktor lain yang membuat fase kedua muncul lebih awal adalah hasil jajak pendapat berbagai lembaga yang secara konsisten menempatkan Ganjar, Prabowo, atau Anies di posisi terdepan.

Ini juga mempercepat dinamika karakter ke arah yang lebih grafis. Kecuali ada faktor luar biasa yang melemahkan situasi, kemungkinan besar partai politik akan menggunakan pendekatan ilmiah untuk membaca opini publik ini sebagai acuan dalam pengambilan keputusan.

Faktor Penentu Pemilu 2024

Faktor Penentu Pemilu tetap pada KPU sebagai Penyelenggara yang legelitas walaupun dari perspektif komunikasi politik, ada tiga faktor penentu diluar dari KPU seperti partai dan calon presiden/cawapres untuk bernavigasi secara serius, menyeluruh, dan efektif di tengah gempuran opini publik menjelang tahun 2024.

Pertama, berdasarkan sejarah. Politik seringkali tentang persepsi, jadi sangat penting untuk mengontrol narasi. Sebuah cerita tidak hanya terdiri dari kata-kata, tetapi juga tindakan simbolik yang ditafsirkan oleh berbagai pihak. Partai atau calon Presiden/Cawapres harus bercerita yang tidak hanya memiliki nilai dan keterkaitan emosional, seperti: Inflasi, konsekuensi geopolitik, polarisasi sosial, penegakan hukum, dan banyak pertanyaan lainnya menuntut jawaban dari elit partai dan kandidat di Pilpres 2024. Semua hal tersebut merupakan keputusan KPU tentang penentunya adalah KPU sebagai penyelenggara Pemilu

Walter Fisher dalam bukunya Komunikasi Manusia sebagai Narasi: Towards a Philosophy of Reason, Value and Action (1987) mengingatkan kita akan pentingnya membangun rasionalitas naratif. Tidak semua cerita memiliki kekuatan yang sama untuk dipercaya. Cerita memiliki dua prinsip, konsistensi dan kesetiaan. Tentu saja, sebuah cerita bukan sekadar slogan untuk branding politik. Garis pemikiran yang sama harus diambil untuk memecahkan masalah bangsa sekarang dan di masa depan. Konsistensi antara cerita dan karakter narator juga sangat menentukan. Namun, persinggungan cerita dan kebenaran nyata di masyarakat membuat para calon, baik calon presiden/wapres maupun partai politik, layak menjadi bagian dari solusi bangsa.

Kedua, mengacu pada pemulihan hubungan simbolis antara elit dan publik. Pada awalnya, opini publik seringkali tersebar secara acak ke dalam struktur individu atau kelompok. Padahal, jika dibiarkan, opini publik bisa seperti gelembung yang memenuhi lini masa media dan media sosial, namun begitu sampai di sana, ia meledak dan menghilang tanpa jejak

Dalam bukunya The Power of Imagination: Ernest Bornmann (1985) menjelaskan bahwa tujuan menciptakan kembali impian Amerika, pendekatan simbolik, harus menjelaskan bagaimana individu berbicara satu sama lain hingga mereka berbagi kesadaran bersama dan menciptakan rasa identitas dan komunitas. Pada dasarnya, salah satu cara untuk menciptakan rasa kebersamaan antara calon presiden/wakil presiden dengan masyarakat adalah dengan membangun kesadaran bersama.

Dalam buku Memahami Teori Komunikasi oleh John F. Craga: The Communicative Forces for Human Actions (1998) menggambarkan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikatif di balik penciptaan kesadaran bersama.

Menghadirkan Capres/Cawapres di mata publik memang tidak mudah. Tidak cukup hanya menggunakan pendekatan linier melalui berbagai jenis penyebaran di media massa dan media sosial. Para elit harus datang untuk menyapa warga, menjalin interaksi, mendengarkan dengan jelas di hati dan pikiran mereka apa yang mereka keluhkan, dan memberikan kontribusi mereka sendiri pada gagasan dan program bersama yang layak diperjuangkan.

Ketika sampai di situ, publik juga akan melihat secercah kejujuran, kehangatan dan ketulusan, atau sebaliknya, kepalsuan, kedangkalan dan kemunafikan. Di sanalah konvergensi simbolik atau kesadaran bersama dicoba.

Ketiga, faktor manajemen privasi komunikasi. Di tengah situasi paradoks, pertanyaan politik sering muncul tentang pesan mana yang harus disampaikan dan mana yang harus disimpan.

Pernyataan elit harus mempertimbangkan konsekuensi bagi diri mereka sendiri dan kekuatan politik mereka.

Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (Komunikasi Lintas Budaya, 2009) Komunikasi tidak dapat diubah. Apa yang telah dikatakan tidak dapat ditarik kembali. Mengatasi privasi komunikasi adalah salah satu kunci untuk mengelola opini dalam situasi saat ini. Salah satu hal terpenting bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah kemampuan mengukur diri.


*Penulis adalah Tokoh Muda Sumatera Utara saat ini beliau merupakan Direktur Rumah Data Sumatera Utara.

banner 300x250
banner 468x60

Tinggalkan Balasan